HIDUP SOSIAL
Hidup memang selalu
bersosialisasi, baik dimanapun itu. Dimanapun kita berada kita selalu berada dalam
hubungan sosial. Setiap kehidupan sosial
pasti akan ada gesekan gesekan yang selalu tidak searah dengan arah pergerakan
kita. Itulah kenapa Mata Pelajaran
PKN mengenai sub bab tenggang rasa dan
selalu menghormati selalu diajarkan dari sejak SD sampai SMA. Kita memang
selalu hidup berdampingan. Setiap dua atau beberapa karakter berkumpul ia akan memiliki singgungan
singgungan kecil yang akan selalu saja ada. Tinggal bagaimana individu individu
tersebut menyikapi perbedaan karakter tersebut.
Setiap manusia pasti memiliki
kesabaran, satu kesalahan dapat kita maafkan. Namun rasa kepercayaan setelah
satu kesalahan tersebut, tidaklah utuh seperti gelas pada mulanya. Kepercayaan itu seperti
gelas, Gelas yang hancur, tak akan bisa
lagi utuh. Meskipun gelas tersebut dapat dirangkai lagi dengan dengan lem, tapi
masih ada sisa sisa bekas hancurnya gelas tersebut.
Hubungan sosial pun seperti itu.
Kekecewaan itu bagaikan sebuah nila setitik yang jatuh pada susu sebelangga.
Satu kali ia pernah dikhianati, rasa percaya itu tidak akan pernah sama. Begitulah
apa yang terjadi dengan salah satu hubungan yang kumiliki disini.
Saat itu, kami sangat dekat.
Pertama kali aku menginjakkan kaki disini, mereka lah yang menjadi tempat share to care. Aku tak tahu, sejak kapan
kesalahan itu kubuat. Saat itu kami dalam kondisi jomblo. Okelah, jadi masih
sangat kompak satu sama lain. Beberapa bulan kemudian, sang cupid mulai menampakkan sayapnya. Mereka mulai memiliki
pasangan masing-masing. Aku memaklumi, porsi perhatian mereka pasti akan lebih
ke “masa depan” mereka. Aku memaklumi ketika aku mulai menjadi obat nyamuk bagi
mereka. Aku memahaminya. Aku tak pernah protes, karena aku tahu apa hak ku
disitu. Aku hanyalah makhluk asing yang baru mereka kenal. Aku masih bersikap
biasa dan cuek, toh aku hanya teman mereka.
Semakin lama, rasanya hubungan
ini semakin buruk. Benang semakin kusut, rasanya sulit untuk diluruskan. Emosi
semakin tinggi. Mungkin aku melakukan kesalahan, yang tak pernah kusadari. Hari
demi hari rasanya ada yang aneh dengan sikap mereka. Kami serumah, tapi seperti
tidak serumah. Komunikasi semakin tidak lancar.
Hubungan semakin renggang. Kesalahan dan kecewaan hanya menjadi omongan
dibelakang orangnya. Dan terjadilah
puncaknya.
Saat itu, dua diantara kami tidak
merasa enak badan. Kami berdua, hanya istirahat saja di kamar. Dan satu teman
kami, tiba-tiba sangat cuek. Menanyakan kondisi saja tidak terucap sepatah
katapun. Sebelum hari itu, memang hubungan kami sudah sangat buruk, mungkin
sikap itu muncul karena ia sedang kesal dengan kami. Okelah, aku melakukan
kesalahan, di saat sakit, dan ditempat yang jauh, gak ada tempat kami untuk
berbagi kecuali teman. Namun, apakah harus bersikap seperti itu. Selama ini,
(okelah saya gak hitung hitungan sikap) perasaan aku gak pernah membedakan
teman yang satu dengan yag lain. Jika dia sakit, masih tak ambilin makan, masih
tak tanyain mau makan apan? Oh begini jadinya. Saya gak pernah hitung-hitungan,
kalo memag mau seperti ini. Tentu saja, saat itu aku emosi (tapi se emosi aku,
paling di pendam dalam hati)
Aku sangat kecewa saat itu. Benar-benar sangat
kecewa. Aku selama ini diam, diam bagaimanapun sikapnya. Aku masih tetap
menganggapnya sebagai teman, puncaknya, aku pergi kekamar salah satu temanku
yang lain. Mungkin ia kesal dengan kami berdua. (lucu ya, hanya karena tidak
menanyakan kondisi saja, aku sudah sangat kecewa) mungkin ini yang disebut
dengan titik tekuk, dan area yang sangat sensitif. Sejak aku jarang ada di
kamar, aku lebih sering bermain di kamar teman yang lain. Pada saat itu juga,
ada lagi konflik didalam kamar (konflik
tidur dikamar lain). Akhirnya ada salah satu diantara kami meminta untuk pisah kamar. Karena sudah tidak ada
rasa kecocokan di antara kami. Setujulah kami untuk berpisah kamar. Sesudah
berpisah kamar, aku pergi meluapkan emosi di kamar tempatku yang lain. Aku
berlinang air mata. Aku menangis, kekecewaan ku keluar dalam bentuk air mata. Sejujurnya,
aku sedikit sakit hati. Aku tahu mereka memiliki hubungan yang lain, yang lebih
penting bagi mereka, aku memahami itu semua. Namun, hanya karena aku tidur
dikamar lain, aku seperti yang salah. Selama ini aku mencoba untuk menjaga
perasaan orang lain, tapi perasaan ku sendiri yang terluka. Meskipun aku marah,
aku mencoba bersikap ramah, tapi sepertinya itu tidak berarti, satu kali hal
itu terjadi.
Setelah pisah kamar, hubungan ini bukan
semakin baik, malah semakin buruk. Tingkat komunikasi kami Cuma berapa persen.
Kami semakin tidak pernah berkomunikasi. kami hanya hidup dalam satu bangunan,
bukan sebuah rumah.
Karena adanya konflik lagi, kami
pernah didudukkan ber lima (ada 2 orang eks) saat itulah kamu buka-bukaan
ketika perasaan kami. Aku baru mengetahui, kalo temanku kecewa dengan sikapku.
Tapi ia gak bilang sikap yang mana yang telah mengecewakan dia. Ketika aku
sakit, ia tahu, kalau aku sakit, tapi karena saat itu dia kesal dengan kami,
dia akhirnya cuek dengan kami. Dia juga bilang, ingin menjaga jarak dengan
kami karena kecewa dengan kami. Dalam
hatiku, owh gitu, jadi dia malah bukan memperbaiki kesalah pahaman di antara
kami untuk berteman, tapi dia memang tidak ingin berteman dengan kami. Okelah,
kalau memang begitu.
Kukira setelah pertemuan itu,
hubungan kami akan semakin baik. Tapi, gelas yang pecah, tidak bisa utuh lagi.
Hubungan kami semakin renggang. Dan akupun memang semakin cuek dengan apapun
yang mereka pikirkan, lakukan dan semuanya. Aku berpikir “masa bodoh” sekarang.
Aku tidak mengeleminasi ia, tapi ia yang menjaga jarak dengan kami. Aku
memahami itu. Mungkin ia ingin fokus dengan masa depannya. Jadi aku juga gak
bisa menyalahkannya. Mungkin saat itu aku terlalu egosi. Seharusnya, aku bisa menurunkan
ego ku, dan bisa lebih memahaminya. Mungkin kalo dari sudut pandangnya, aku
mungkin yang bersalah. Ah, lelah hati ima.
(teman bukannlah seperti itu, teman
tempat untuk saling berbagi, baik suka maupun duka, dan teman selalu bisa
memperbaiki satu sama lain).
“kesalahan itu dapat diperbaiki
dengan adanya komunikasi satu sama lain” itu yang aku pahami. Hidup ini tidak pernah lepas bersosial satu
sama lain. Biarkan orang lain berbicara tentang hidup kita. Manusia tidak akan
pernah lepas dengan omongan dibelakangnya. Namun bagaiamana kita menyikapi
kritikan dan masukan tersebut. Aku tahu,
pasti ada orang yang berbicara di belakangku, tapi jadikan itu sebagai motivasi
lebih baik. Selama apa yang kita lakukan tidak bertentangan dengan syariat
islam. Ego, pasti ada. Namun bagaimana menurunku egomu untuk menjaga suatu
hubungan. Teman, bisa jadi keluarga dan sahabat. Apalagi di tempat rantau,
seharusnya kita mampu menjadikan semua orang teman. Aku gagal dalam hubungan
ini, aku gagal menjaganya. Ternyata, mencari teman itu tidak semudah menemukan
batu di jalan. Terkadang dengan adanya jarak, akan mampu membuat kita mengerti
apa arti sebuah hubungan.
Jika, aku melakukan kesalahan, aku minta maaf, terkadang, aku tidak
menyadari apakah sikap da perkataanku telah menyakiti kalian. Jika aku berbuat
salah, silahkan tegur. Mungkin aku akan marah, tapi jangan jadikan sikap
marahku, sebagai penolakan kritikan kalian.
Maafkan diri ini jika berkali kali membuat kalian kesal. Mohon
maafkanlah................
0 komentar:
Posting Komentar